18 October, 2010

Hadir Muzakarah PAS dan UMNO.

17 Oktober 2010, bergambar bersama isteri ADUN Lubok Merbau dan Isteri ADUN Changkat Jong pada Muzakarah PAS dan UMNO di Ipoh.


Baca Seterusnya...

03 October, 2010

Gambar kenangan.

1. Gambar kenangan kami sekeluarga diambil dipagi hari raya Aidil Fitri 1431H/10 Sept 2010 dirumah Ibunda tercinta di parit Tok Ngah

2. Gambar kenangan bersama dengan suami tercinta dalam teksi di Masjidil haram dalam perjalanan menunju ke Miqat bagi memulakan kerja Umrah pada Ogos 2009.


Baca Seterusnya...

Rumah Terbuka PAS Kawasan Parit Buntar.

Gambar bersama suami dalam majlis rumah terbuka PAS Parit Buntar yang diadakan di Pusat Tarbiyah Titi Serong. Kehadiran dianggarkan sekitar 5000 orang dari pelbagai bangsa.


Baca Seterusnya...

Majlis Rumah Terbuka UPU Parit Sg. Megat Aris

Kelmarin 2 Okt, saya bersama suami menghadiri majlis Rumah Terbuka Aidil Fitri UPU Parit Sg. Megat Aris sekitar jam 3.30 petang. Alhamdulillah sempat bergambar bersama isteri YB.Mujahid dan Isteri YB. Yunus.


Baca Seterusnya...

28 September, 2010

Rumah Terbuka AidilFitri Pakatan Rakyat Perak.

26 September 2010.Saya bersama suami berada dalam Rumah Terbuka Pakatan Rakyat Perak di hadapan pejabat PAS Perak di Ipoh.Sempat bergambar dengan isteri YB. Zainuddin dan ADUN DAP Menggelambu, Lim Phek her.


Baca Seterusnya...

13 August, 2010

Wanita dan Thaharah : Kaidah-kaidah dan Permasalahan Tentang Shufrah, Kudrah dan al-Qushatul Baidha'

oleh : Syaikhah binti Muhammad al-Qasim

Kedua : Kaidah-kaidah dan Permasalahan Tentang Shufrah, Kudrah dan al-Qushatul Baidha'

shufrah adalah sesuatu yang seperti nanah dan didominasi warna kuning.

kudrah adalah seperti warna air yang kotor, dan tidak menyerupai salah satu dari warna-warna darah, atau seperti air yang bercampur dengan warna merah. Ia keluar semisal warna coklat pada umumnya.

Pertanyaan: Dengan apa seorang wanita mengetahui masa sucinya?

1. Dengan al-qushshahtul baidha’ (lendir putih), yaitu cairan berwarna putih yang keluar karena tekanan rahim pada saat darah haidh berhenti.

2. Atau dengan jafaf (keringnya kemaluan), yaitu dengan memasukkan sapu tangan (tissue), maka ketika dikeluarkan, sapu tangan (tissue) tersebut tetap dalam keadaan kering.

Pengertian jafaf di sini adalah tidak ada lagi darah sedikit pun. Juga tidak ada shufrah dan kudrah, sebab kemaluan wanita tidak pernah terlepas dari kondisi basah secara umum.

Kaidah-kaidah dan Permasalahan shufrah, Kudrah dan al-Qushshatul Baidha'

shufrah dan kudrah yang keluar pada masa haidh, maka ia termasuk haidh.

Misalnya: Seorang wanita biasa haidh selama lima hari, lalu pada satu bulan tertentu atau seterusnya ia mengeluarkan darah selama dua hari, lalu pada hari ke tiga keluar shufrah dan kudrah, kemudian dua hari terakhir keluar darah, maka berarti masa lima hari keseluruhanya adalah masa haidh.

shufrah dan kudrah jika bersambung dengan hari-hari haidh sebelum masa suci, maka ia termasuk haidh.

Misalnya: Seorang wanita mengalami haidh selama lima hari, lalu setelah itu keluar shufrah dan kudrah selama dua hari, lalu keluar lendir putih, maka itu berarti masa tujuh hari keseluruhannya adalah masa haidh.

shufrah dan kudrah tidak dianggap apa-apa setelah masa suci.

Misalnya: Seorang wanita selesai dari haidh, lalu ia melihat tanda suci, dan setelah itu ia mendapati shufrah dan kudrah, maka ini bukanlah haidh. Namun shufrah dan kudrah ketika itu dianggap seba-gai istihadhah. Hendaknya ia berwudhu di setiap waktu shalat dan membersihkan pakaian yang terkena cairan tersebut.

Kaidah: shufrah dan kudrah apabila terjadi pada masa haidh atau bersambung dengannya sebelum datangnya masa suci, maka ia dianggap sebagai haidh. Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata, "Kami tidak menganggap shufrah dan kudrah sebagai haidh setelah masa suci." ( Riwayat al-Bukhari dan Abu Dawud, dan lafazh ini adalah miliknya dengan tambahan ini)

shufrah dan kudrah yang terjadi sebelum keluarnya darah atau terjadi pada masa haidh dengan disertai rasa sakit ketika haidh, atau ia datang sebelum keluarnya darah secara terus-menerus, maka dianggap sebagai haidh, dengan rincian sebagai berikut:

a). Jika shufrah dan kudrah keluarnya tersendat-sendat sebelum datangnya haidh dengan disertai rasa sakit ketika haidh, maka ia dianggap haidh.

Misalnya: Jika seorang wanita melihat shufrah dan kudrah dalam jangka waktu satu hari atau dua hari atau pun tiga hari dengan disertai rasa sakit sebagaimana rasa sakit waktu haidh, lalu datang ke-padanya haidh, maka tiga hari yang pertama sebelum haidh juga dianggap haidh.

b). Jika shufrah dan kudrah keluar secara terputus-putus sebelum masa haidh tanpa disertai rasa sakit waktu haidh, maka dihitung sebagai istihadhah.

c). Jika shufrah dan kudrah keluar terus-menerus hingga datangnya haidh, maka ia dianggap haidh.

Misalnya: Seorang wanita melihat shufrah dan kudrah selama tiga hari terus-menerus, lalu pada hari keempat ia mengalami haidh, maka tiga hari sebelumnya adalah haidh juga.

d). Jika shufrah dan kudrah keluar pada hari pertama haidh dengan disertai rasa sakit waktu haidh, maka dianggap sebagai haidh.

Keluarnya garis/benang tipis berwarna hitam pada cairan pada hari-hari pertama haidh dengan disertai rasa sakit, maka dianggap sebagai haidh dengan syarat keluarnya garis-garis/benang-benang tipis pada cairan itu cecara terus menerus dengan tidak ada masa kering. Adapun jika garis-garis/benang-benang tipis itu keluar, lalu berhenti, maka ia bukan haidh, sebab haidh itu tidak terjadi kurang dari sehari semalam sebagai-mana dijelaskan sebelumnya.

Jika seorang wanita melihat tanda suci berupa al-qushshatul baidha' (lendir putih), lalu mengalami shufrah dan kudrah, lalu keluar al-qushshatul baidha', kemudian shufrah dan kudrah, maka al-qush-shatul baidha' (lendir putih) yang pertama adalah tanda masa suci.

Jika warna shufrah dan kudrah yang bersambung dengan darah haidh berubah secara perlahan-lahan dari warna coklat ke warna kuning, dan terjadi terus-menerus, maka hendaknya seorang wanita menunggu sampai ia melihat masa suci [keluarnya al-qushshatul baidha' (lendir putih) atau jafaf (keringnya kemaluan)].

Adapun jika meningkat kepada warna kuning akan tetapi berhenti, dan ia tidak melihatnya ke-cuali hanya sekali saja, misalnya dalam sehari, sedangkan keluarnya lendir putih mengalami ke-terlambatan, misalnya tiga hari, maka masa suci terjadi ketika awal melihat warna kuning yang berhenti itu.

Memeriksa Masa Suci

Sebagian Salaf mengatakan, “Bukan merupakan keharusan bagi seorang wanita untuk memeriksa masa su-cinya di malam hari dan itu tidak aku sukai, sedangkan saat itu manusia tidak memiliki lampu, sebagaimana di-katakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dan selainnya. Akan tetapi yang harus baginya ialah melakukannya pada saat ingin tidur atau melakukan shalat Shubuh dan hendaknya ia melihat pada waktu-waktu shalat. Mencari masa suci ketika malam hari bukan termasuk amalan orang-orang."

Tata Cara Mandi yang Sempurna dan Disunnahkan Ketika Selesai dari haidh, Nifas dan Junub, dan Juga Ketika Ihram untuk Haji dan Umrah:

Hendaknya ia berniat di dalam hatinya.

Lalu membaca bismillah, mencuci tangannya tiga kali, dan mencuci kemaluannya.

Kemudian berwudhu secara sempurna.

Lalu menuangkan air di kepalanya (hingga membasahi pangkal rambut/kulit kepala)

Kemudian membasuh bagian tubuh yang kanan, bagian depan dan belakangnya, serta menggosok dengan dua tangannya.

Kemudian membasuh bagian tubuh sebelah kiri, bagian depan dan belakang, serta menggosok dengan dua tangannya.

Sedangkan mandi yang dianggap sah adalah mencuci kemaluan, lalu berkumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung), lalu menyiramkan air ke seluruh tubuh dengan niat bersuci dari haidh, nifas atau janabah.

Peringatan:

Inilah tata cara mandi yang sempurna dan tata cara mandi yang dianggap sah, yang memung-kinkan seorang wanita bisa mendirikan shalat setelahnya, setelah ia mengalami hadats besar (haidh, nifas atau janabah saja), dan cukup baginya tanpa berwudhu.

Jika seorang wanita sedang junub, lalu mengalami haidh, maka hendaklah ia mandi dari janabah untuk meringankan junub, dan setelah itu memungkinkan dia untuk membaca al-Qur'an.

Faidah 1:

Disunnahkan bagi orang yang mandi dari haidh untuk mengusapkan kapas yang dilumuri misik pada tempat keluarnya darah, berdasarkan ucapan Aisyah radhiyallahu ‘anha,

سَأَلَتْ اِمْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَيْفَ تَغْتَسِلُ مِنْ حَيْضَتِهَا؟ فَذَ كَرَتْ أَنَّهُ عَلَّمَهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ ثُمَّ تَأْ خُذُ فِرْصَةً مِن مِسْكٍ فَتَطَهَّرُ بِهَا. قَالَتْ: كَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا؟ قَالَ: تَطَهَّرِي بِهَا سُبْحَانَ اللهِ. فَقُلْتُ: تَتَبَّعِىْ بِهَا أَثَرَ الدَّمِ.

"Salah seorang wanita bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang bagaimana cara mandi dari haidh? Maka dia mengatakan bahwasanya beliau (Nabi) telah mengajarkan kepadanya tata cara mandi, dan memerintahkannya untuk mengambil firshatu misik (sepotong kapas/ kain yang diberi misik) dan membersihkan (bersuci) dengannya. Wanita itu bertanya, "Bagaimanakah aku bersuci dengannya?" Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "(Bagaimana) engkau bersuci dengannya, subhanallah. Maka aku berkata, "Usapkanlah kapas tersebut ke daerah bekas keluarnya darah." (HR. Muslim)

Arti Kosa Kata:

Firshatu misik; Yaitu sepotong kapas yang digu-nakan seorang wanita untuk mengusap darah haidh, artinya ia mengambil potongan kapas yang telah diolesi misik (cair atau padat).

Usapkanlah kapas tersebut ke daerah bekas keluarnya darah; Jumhur Ulama mengatakan, “Yang dimaksud adalah farj (kemaluan)”.

Ia mengambil misik dan mengoleskannya di kapas dan semisalnya, lalu mengoleskannya pada kemaluannya. Jika tidak mendapati misik, maka cukup dengan minyak wangi.

Hikmah dari hal tersebut adalah:
1. Dikatakan bahwa tujuannya adalah supaya aroma darah hilang.
2. Dikatakan juga, karena ia akan mempercepat mendapatkan anak.
3. Dikatakan juga dapat menghentikan keluarnya cairan kotor (cairan keputihan/kekuningan dari vagina).
4. Mempermudah bagi wanita setelah itu untuk mengetahui masa sucinya dengan adanya lendir putih atau jafaf (keringnya kemaluan).

Peringatan:

Sebaiknya wanita melakukan amalan sunnah ini, walaupun ia seorang yang masih dalam masa iddah (masa menunggu) karena kematian suaminya, kecuali bagi wanita yang sedang melakukan ihram untuk melaksanakan ibadah Haji atau Umrah.

Faidah 2:

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

)وَالْمِسْكُ أَطْيَبُ الطِّيْبِ)

"Misik adalah minyak wangi yang paling baik. (HR. Muslim dari hadits Abu Sa'id al-Khudri)

Misik merupakan minyak wanginya surga. Dan di antara manfaatnya adalah menjadikan keringat wa-ngi, memperindah anggota badan, mencegah bau yang tidak enak yang keluar dari dalam pencernaan, menguatkan jantung, menyenangkan, memperbaiki pikiran, menghilangkan bisikan jiwa, memberikan manfaat bagi yang terkena sakit kepala, mencerdas-kan otak, memberikan manfaat dari seluruh penyakit dingin, menghentikan kerjanya racun dan lain sebagainya. ( Faidhul Qadir, oleh Al-Manawi, 1/547 dengan beberapa perubahan)

Tanya: Sebagian wanita mengeluhkan terjadinya rasa jenuh, lalai, keras hati pada saat masa haidh atau nifas dengan sebab mereka tidak mendirikan shalat dan berpuasa pada masa ini, maka bagaimanakah cara penyembuhannya?

Jawab: Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala melarang mereka mendirikan shalat dan berpuasa adalah sebagai rahmat bagi mereka, sebab Dia adalah yang paling Penyayang di antara yang penyayang. Akan tetapi jalan-jalan kebaikan amatlah banyak –alhamdulillah-, maka seorang Muslimah hendaknya menempuh jalan-jalan itu supaya tetap dekat dengan Rabbnya dalam seluruh keadaannya, seperti dengan cara membaca al-Qur'an melalui hafalannya, atau dengan pemisah yang suci misalnya sarung tangan dan selainnya, ber-dzikir dan beristighfar, menjawab mu’adzin, berdoa, berbuat baik kepada kedua orang tua, silaturrahim, membantu kesulitan orang, memberi buka puasa orang yang berpuasa, menjenguk orang sakit, mendengarkan kaset yang bermanfaat, menghadiri majlis-majlis ilmu, dan jika ia hendak melakukan suatu urusan, maka ia boleh membaca doa istikharah dengan tanpa melakukan shalat.


Baca Seterusnya...

12 August, 2010

Wanita dan Thaharah : Kaidah-kaidah dan Permasalahan Tentang Haidh

Oleh : Syaikhah binti Muhammad al-Qasim

Pertama : Kaidah-kaidah dan Permasalahan Tentang Haidh

Haidh adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita pada waktu-waktu tertentu karena tuntutan kodratpenciptaannya dan tanpa adanya sebab. Ia adalah darah yang bersifat alami, tanpa adanya sebab-sebab tertentu, seperti sakit, luka, keguguran atau melahirkan.
Allah Subhaanahu wata’ala berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى

Artinya, "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu kotoran". (Al-Baqarah: 222).

Kaidah-kaidah dan Permasalahan tentang Hukum Haidh:

Kadangkala masa haidh lebih panjang dari waktu biasanya, maka masanya dihitung bertambah dan dianggap sebagai haidh.

Misalnya: Seorang wanita biasa mengalami haidh selama lima hari, lalu suatu ketika masanya bertambah sampai tujuh hari, itu berarti masa haidh-nya menjadi tujuh hari.

Kadangkala masa haidh lebih pendek dari waktu biasanya, maka masanya dihitung berkurang.

Misalnya: Seorang wanita biasa mengalami haidh selama lima hari, lalu ia mengalami haidh lebih pendek selama empat hari, maka berarti pada saat itu masa haidhnya telah habis.

Kadangkala masa haidh lebih panjang dari waktu biasanya dengan sebab adanya penghalang (kontrasepsi).

Misalnya: Seorang wanita yang menggunakan alat pencegah kehamilan (spiral), lalu masa haidhnya menjadi lebih panjang. Anggaplah ia biasa mengalami haidh selama lima hari, dan setelah menggunakan alat tersebut masanya menjadi delapan hari, maka itu artinya masa haidhnya menjadi delapan hari. Dengan demikian masa haidhnya dihitung bertambah dan dikategorikan sebagai haidh. Tentunya ini setelah melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang dokter Muslimah sehingga ia benar-benar mengetahui bahwa spiral tersebut dalam posisi yang tepat, dan bahwasanya darah yang keluar bersumber dari dalam rahim, bukan karena adanya luka, penyakit atau mengalami pendarahan. [Di antara contoh kasus ini adalah goncangan kejiwaaan (psikologis) yang dialami seorang wanita, seperti ketika menghadapi ujian sekolah atau perselisihan suami istri. Ini semua kadangkala menyebabkan memanjangnya masa haidh, keterlambatan atau maju]

Kadangkala haidh datang lebih awal.

Misalnya: Seorang wanita biasa mengalami haidh di akhir bulan, lalu suatu saat datang lebih awal, misalnya seminggu atau sepuluh hari sebelumnya, maka ini adalah haidh.

Kadangkala haidh mengalami keterlambatan.

Misalnya: Seorang wanita biasa haidh pada pertengahan bulan, lalu ia mengalami keterlambatan sampai akhir bulan, maka ini adalah haidh.

Kaidah: Kapan saja seorang wanita melihat darah, maka itu adalah haidh. Dan seorang wanita dianggap mengalami haidh, jika keluarnya darah terjadi dalam sehari semalam atau lebih -akan dijelaskan kemudian-, dan kapan pun seorang wanita melihat bersihnya darah, maka ia telah suci, baik masanya bertambah atau berkurang dari biasanya, dan baik waktunya maju atau mundur. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wata’ala,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى

Artinya, "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu kotoran". (Al-Baqarah: 222).

Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu wata’ala telah menjadikan keberadaan kotoran yaitu darah sebagai haidh.

Kadangkala darah mengalir secara terus-menerus pada masa haidh, dan keluarnya pun berkesinambungan. Dan ini yang terjadi pada mayoritas kaum wanita.

Misalnya: Seorang wanita mengalami haidh terus-menerus selama lima hari, kemudian suci.

Kadangkala darah keluar secara terputus-putus dan berhenti pada waktu biasanya, maka kapan pun ia melihat darah, berarti itu adalah haidh dan kapan pun ia melihatnya bersih dan kering, maka itu adalah suci.

Misalnya: Seorang wanita biasa mengalami haidh selama delapan hari, lalu ia kedatangan haidh pada bulan tertentu selama empat hari, kemudian berhenti dua hari, lalu haidh kembali selama dua hari. Maka hari-hari yang awal (4 hari pertama) adalah haidh, dan yang tengah (2 hari) adalah suci, maka ia wajib berpuasa dan mendirikan shalat. Sedang dua hari terakhir adalah dapat dipastikan sebagai haidh juga, dengan sebab masa haidhnya adalah selama delapan hari, dan pada asalnya seluruh darah yang keluar dari seorang wanita adalah haidh, selama tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu bukan darah haidh, sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang bersumber dari firman Allah Subhaanahu wata’ala,

قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ

Artinya, "Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu kotoran, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhi diri dari wanita (janganlah menyetubuhinya) di waktu haidh". (Al-Baqarah: 222).

Pada dasarnya darah dianggap sebagai haidh, apabila masanya selama sehari semalam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengaitkannya dengan kebiasaan wanita sebagimana sabda beliau,

تَحَيَّضِيْ فِيْ عِلْمِ اللهِ سِتَّا أَوْ سَبْعًا كَمَا تَحِيْضُ النِّسَاءُ

"Jalanilah masa haidh dalam ilmu Allah selama enam atau tujuh hari sebagaimana wanita mengalami haidh." (HR. at-Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani).

Dan tidak pernah ada haidh yang normal, masanya kurang dari sehari semalam. Atas dasar ini, maka setiap darah yang keluar kurang dari sehari semalam, maka ia tidak dianggap sebagai haidh.

Dan juga berdasarkan kaidah: Jika darah berhenti selama sehari semalam atau lebih ketika dalam masa haidh, maka yang demikian adalah suci. Dan jika berhenti kurang dari sehari semalam , maka darah tersebut termasuk dalam hukum haidh.

Misalnya:

a). Jika seorang wanita, masa haidhnya adalah tujuh hari, lalu pada hari kelima darah berhenti dari waktu fajar sampai akhir malam, di mana sekiranya dia mengusap (pada kemaluannya), maka tidak mendapati sesuatu, lalu darah tersebut kembali keluar pada hari yang keenam dan ketujuh, maka hari kelima dihitung suci, sehingga ia wajib mendirikan shalat dan berpuasa. Sebab suci itu terjadi dengan keringnya darah, dan inilah yang umum dan dapat pula terjadi dengan adanya al-qushshatul baidha' (lendir putih).

b). Jika kebiasaan haidhnya selama tujuh hari, kemudian pada hari kelima haidh berhenti dari waktu fajar sampai Ashar, maka ini termasuk dalam hukum haidh, karena kurang dari sehari semalam.

Kadangala darah keluar setelah waktu biasanya berlalu, dan 2 hari atau lebih setelah mandi. Maka pada prinsipnya darah yang keluar dari wanita selama sehari semalam atau lebih –sebagaimana dijelaskan sebelumnya-, maka itu adalah haidh, selama tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa darah tersebut bukan haidh, misalnya karena adanya luka atau pendarahan.

Misalnya: Seorang wanita memiliki masa haidh yang sudah jelas, yaitu empat hari, kemudian ia suci, lalu darah keluar lagi pada hari yang keenam dan ketujuh, maka darah yang ia lihat pada hari keenam dan ketujuh adalah haidh.

Pertanyaan:

Bagaimanakah seorang wanita Muslimah bisa mengetahui bahwa darah yang akan keluar itu kurang dari sehari semalam, sehingga darah tersebut tidak dihitung haidh atau darah tersebut akan keluar terus, sehingga dihitung sebagai haidh?

Jawab:

Pertama; Jika darah tersebut keluar masih pada masa-masa haidhnya atau masih dekat dengannya, maka darah tersebut dihitung sebagai haidh karena hukum asalnya demikian, selama darah itu tidak berhenti atau telah mengering. Demikian pula jika ia mengetahui bahwa ia mengalami hal ini pada setiap masa haidh.

Kedua; Jika darah itu keluar setelah masa suci, dan tidak ada tanda-tanda bahwasanya itu adalah haidh seperti rasa sakit di punggung misalnya, atau warna darah dan aromanya, dan ia juga tidak kental, dan itu terjadi padanya secara umum ketika ia sedang serius atau terjadi keguncangan pada jiwanya, lalu darah itu terhenti, maka itu bukanlah haidh. Jika pada darah itu terdapat salah satu dari tanda-tanda haidh, maka ia dianggap haidh selama tidak kurang dari lamanya masa haidh (sehari semalam).

Apabila masa haidh bertambah dari waktu biasanya pada suatu bulan tertentu, maka tambahan hari itu dihitung sebagai haidh.

Misalnya:

Jika masa haidh seorang wanita adalah lima hari, lalu pada bulan tertentu darah keluar terus-menerus hingga selama sebelas hari, kemudian suci, ini artinya masa haidhnya pada bulan tersebut adalah sebelas hari.

Adapun jika darah keluar terus-menerus pada seorang wanita, maka hendaklah ia menunggu sampai batas maksimal masa haidh, yaitu lima belas hari. Apabila telah mencapai masa waktu ini, maka hendaknya ia mandi dan dengan demikian ia telah suci. Jika darah masih keluar terus-menerus, maka hendaknya ia berwudhu' setiap akan mendirikan shalat serta mencuci pakaiannya yang terkena bekas darah, dan darah itu adalah termasuk istihadhah. Ini menurut pendapat Jumhur Ulama.

Adapun jika darah keluar terus-menerus hingga bulan berikutnya, maka sesungguhnya wanita tersebut mengalami istihadhah. Dan yang dimaksud wanita yang mengalami istihadhah di sini adalah siapa saja yang mendapati darah sepanjang bulan atau sebagian besarnya dan tidak berhenti, kecuali sehari atau dua hari saja. Maka hukumnya kembali kepada hukum-hukum istihadhah yaitu:

Kondisi Pertama:

Seorang wanita memiliki kebiasaan haidh yang jelas sebelum ia mengalami istihadhah, misalnya sebelum mengalami istihadhah ia biasa mengalami haidh selama lima hari atau delapan hari pada awal bulan atau pertengahannya, dan ia mengetahui persis kebiasaan jumlah hari dan waktunya. Maka dalam keadaan ini ia beristirahat selama masa biasa dia haidh, meninggalkan shalat dan puasa dan statusnya sebagai wanita yang sedang mengalami haidh. Jika waktu kebiasaan haidhnya sudah habis, maka hendaknya ia mandi dan melakukan shalat lagi. Darah yang keluar setelahnya dianggap sebagai istihadhah dan hendaknya ia berwudhu setiap akan mendirikan shalat. Apabila ia merasa berat untuk berwudhu setiap kali akan mendirikan shalat, maka boleh baginya berwudhu dan melakukan shalat Zhuhur dan Ashar secara jama’ (digabung). Demikian pula untuk shalat Maghrib dan Isya'.

Kondisi Kedua:

Jika seorang wanita tidak mempunyai kebiasaan waktu haidh yang jelas, tetapi darah yang keluar di sebagian harinya memiliki ciri-ciri yang berbeda, seperti mengandung ciri-ciri darah haidh, berupa warna darah yang hitam atau kental atau mengandung aroma darah haidh, sedangkan pada hari-hari yang selainnya tidak terdapat ciri-ciri darah haidh, seperti darah berwarna merah, tidak mengandung aroma, tidak kental, maka dalam keadaan ini darah yang mengandung ciri-ciri haidh dianggap sebagai haidh, dan ia wajib meninggalan shalat dan puasa. Sedangkan selainnya dianggap sebagai istihadhah. Ia hendaknya mandi pada akhir keluarnya darah yang terdapat ciri-ciri haidh, mendirikan shalat dan berpuasa serta terhitung dalam keadaan suci. Dan hendaknya dia berwudhu setiap akan mendirikan shalat, jika darah masih keluar terus-menerus.

Kondisi Ketiga:

Jika seorang wanita tidak mempunyai kebiasaan waktu haidh yang jelas dan tidak pula ada ciri-ciri yang membedakan antara darah haidh dengan yang lainnya, maka hendaknya ia istirahat (tidak shalat dan berpuasa) pada umumnya masa haidh selama enam hari atau tujuh hari setiap bulannya. Karena hal ini merupakan kebiasaan yang umum pada kaum wanita. Namun hendaknya dia tidak memilih jumlah hari sesukanya, seperti bulan ini ia istirahat selama lima hari, lalu pada bulan yang lain selama enam hari. Namun hendaknya dia memilih apa yang biasa terjadi pada kerabatnya, misalnya yang biasa dialami oleh ibunya, saudara perempuannya, bibinya dari ayah, atau bibinya dari ibu. Maka jika mayoritas mereka misalnya mengalami haidh selama lima hari, maka ia pun istirahat sebagaimana mereka. Demikianlah kita menyamakan kedaannya dengan keadaan mayoritas kebiasaan wanita-wanita kerabatnya yang ada di sekitarnya. Dan ia tetap dalam keadaan demikian pada masa ini hingga Allah Subhanahu wata’ala memberikan kesembuhan kepadanya.

Kesimpulan:
1. Wanita yang masa haidhnya jelas, dikembalikan kepada kebiasaannya tersebut.
2. Wanita yang hanya dapat membedakan darah saja, maka ia melihat dengan perbedaan itu.
3. Dan yang tidak bisa dengan kedua-duanya, maka ia mengikuti kebiasaan mayoritas wanita kerabatnya yang berada di sekitarnya.


Baca Seterusnya...